Kamis, 22 Maret 2012

SHIDDIQ AMIEN ; INTELEKTUAL MUDA BERJIWA ULAMA

Oleh : Abu Alifa Shihab
 KH.Shiddiq Amien merupakan sosok ulama intelektual yang mampu memberikan pencerahan pemikiran dan gerakan dakwah khususnya melalui dan dilingkungan jamiyyah Persatuan Islam. Harus diakui Persis dibawah kepemimpinannya mengalami sebuah penyegaran pemikiran konsep dan program yang disesuaikan dengan keadaan yang dibutuhkan. Ulama asal Kota Tasikmalaya yang gemar membaca ini, merupakan sosok yang kehadirannya sangat dinantikan dan dibutuhkan oleh umat. Gaya penyampaian yang komunikatif dan argumentative, disertai gaya dakwah yang memikat membuat orang tidak mau beranjak untuk tetap menyimak pesan yang disampaikannya. Mulai dari masyarakat menengah kebawah, sampai menengah keatas. Dari mulai petani sampai ketingkat akademisi bahkan ketingkat elit (pejabat). KH.Shiddiq Amien mewarisi pemikiran intelektual dan keulamaan,  sekaligus akan memberikan kesan istimewa mengenai kepribadian dan pematangan intelektual dan sangat disegani dilingkungan jamaah dan jamiyyah Persis. Shiddiq Amin merupakan figur ulama langka dijaman sekarang. Beliau seorang ulama yang serius dalam prinsip tapi cukup toleran dengan pemahaman lain.
KH.Shiddiq Amien adalah seorang ulama intelektual dan intelektual ulama ternama dalam jajaran jamiyyah Persatuan Islam (Persis) khususnya. Sebagai ulama beliau mampu membawa jamiyah Persis ke level mengagumkan. Sebagai seorang intelektual muda, beliau mampu menyatukan tradisi keulamaan dan keintelektualan secara sekaligus.

KH.Shiddiq Amien, yang nama aslinya Shiddiq Aminullah lahir di Tasikmalaya, tepatnya di kampung Benda Kecamatan Cipedes, tanggal 13 Juni 1955, dan meninggal dunia pada hari Sabtu, 31 Oktober 2009, di Rumah Sakit Al-Islam, Bandung.  Ayahnya bernama KH.Ustman Aminullah[1] dan ibunya bernama Hj.E.Hamidah. Ayah beliau adalah salah seorang murid A.Hassan guru utama Persis, disamping itu KH. Utsman Aminullah merupakan pendiri dari Pesantren Persi 67 Benda. Tidak heran jika ketekunan untuk mempelajari agama Islam mengalir kepada anaknya.[2]

Sewaktu kecil Shiddiq Amien sebagai layaknya seorang anak, ia senang bermain dengan anak seusianya. Beliau sering ikut menghadiri pengajian bersama ayahnya. Bahkan Ibunya menuturkan bahwa Shiddiq Amien  (yang masa remajanya suka main gitar ini) senantiasa ingin ikut jika ayahnya mengisi pengajian. Bahkan suka menangis apabila ia tidak diajaknya.

Menginjak remaja, Shiddiq Amien pandai bergaul dengan remaja seusianya. Bermain gitar diantara yang ia lakukan bersama teman sebayanya. Disamping sangat menyayangi adik-adiknya, Shiddiq Amien remaja juga suka bercanda, dan terkadang “usil” sama adik-adiknya.  Bahkan pernah suatu ketika saat melihat adiknya sedang shalat, ia bermain gitar dan bernyanyi yang isinya berupa candaan, sampai adiknya yang sedang shalat tertawa dan membatalkan shalatnya. Itulah Shiddiq Amien diusia remaja (14 tahun).[3]

Jenjang pendidikan formal Shiddiq Amien diawali dengan memasuki SDN Benda Nagarasari Tasikmalaya, kemudian masuk SMPN 3 Tasikmalaya dan SMA Negeri 1 Tasikmalaya. Selesai menamatkan pendidikannya di SMA (1974), beliau melanjutkan pendidikan formalnya di ABA (seakarang STBA) yang waktu kuliahnya sore hari. Maka pada pagi harinya Shiddiq Amien belajar di pesantren Persis 1 Pajagalan pada tingkat Mu’allimien yang di pimpin (saat itu) oleh KH.Endang Abdurrahman. Dilihat dari sisi pendidikan pesantren beliau terbilang cukup mengagumkan, mengingat tanpa memasuki jenjang Tsanawiyah bisa langsung masuk ke Tingkat Mu’allimien. Saat itu Shiddiq Amien hanya dititipkan oleh sang ayah kepada KHE.Abdurrahman.[4] Pendidikan ilmu agamanya lebih banyak diasuh oleh sang ayah,  baik itu ilmu alat seperti balaghah, nahwiyah, sharaf dan lain-lain, atau-pun dalam membaca kitab kuning. Sekalipun beliau tidak pernah mengeyam pendidikan tingkat Tsanawiyah secara formal di Persis, namun beliau mampu menyusul ketertinggalan itu bahkan menjadi murid kepercayaan ustadz Abdurrahman. Tentu saja pendidikan agama yang senantiasa beliau terima dari ayahnya menjadi modal. Sebab hampir tiap malam beliau diajari oleh ayahnya. Seperti dituturkan mantan santrinya, bahwa ia sering mendengar beliau  membaca hadits atau kitab yang diajarkan oleh ayahnya. Bahkan menurut penuturan ibunya Hj.E.Hamidah bahwa sebelum jang Shiddiq (panggilan keyasangan dari ibu) pergi ke Bandung, selama kurang lebih 2 bulan beliau tiap habis shalat shubuh oleh ayahnya diasah mengenai ilmu alat seperti nahwiyah, balaghah, mantiq dan sebagaianya. Maka tidak heran jika beliau bisa langsung masuk ke jenjang Mu’allimien. Bahkan Shiddiq Amien banyak mendapat kepercayaan dari gurunya Ustadz Abdurrahman. Meskipun hanya mengenyam pendidikan selama dua tahun di Pesantren (Mu’allimien) namun pengetahuan yang dimilikinya tentang agama Islam cukup luas dan mendalam. Hal ini disebabkan beliau selalu rajin dan ulet dalam mempelajari agama Allah. Bukan hanya melalui pendidikan Mu’allimien, namun juga melalui pengajian-pengajian yang selalu dihadirinya, selain itu dengan penguasaan dua bahasa asing menyebabkan mampu membuka berbagai disiplin ilmu. Dan pada tahun 1979 beliau memperoleh gelar S1-nya di Sekolah Tinggi Bahasa Asing (STBA), sedangkan gelar MBA diraihnya lewat JIMS.

Suatu hal yang patut mendapat sorotan dan menarik jika ditelusuri ikhwal pendidikannya yang menjadi sosok ulama kharismatik. Kesan yang akan muncul dan terbersit, bahwa pendidikan yang dijalaninya agak berbeda dengan para Kyai pada umumnya. Bahkan mungkin berbeda dengan jalur pendidikan yang biasa dijalani para putra pimpinan pesantren. Peta perjalanan pendidikan yang dijalani Shiddiq Amien sangat unik dan mengesankan. Jika ditinjau dalam perspektif yang lebih terang, hal ini menunjukkan betapa visionernya Shiddiq Amien sejak masih muda.

Shiddiq Amien mampu untuk terbang melampaui paradigma pendidikan pesantren yang berlangsung selama berpuluh tahun. Beliau kemudian menuruti minat dan bakatnya dalam hal pendidikan, meskipun berbeda dengan tradisis pesantren. Namun, terbukti akhirnya memberikan manfaat yang besar dikemudian hari. Jenjang pendidikannya sebagai sosok Kyai dengan wawasan yang luas.[5] Hal ini bisa kita bayangkan bahwa Shiddiq Amien semasa masih belajar di SMA 1 Tasikmalaya, sudah diberi tugas oleh ayahnya untuk mengajar di pesantren Persis 67. Mata pelajaran yang ia sampaikan adalah Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia. Dalam kapasitasnya sebagai seorang guru, Shiddiq Amien dalam menyampaikan pelajarannya sangat komunikatif dan gampang untuk dimengerti. Tidak jarang diantara para santri merasa rugi dan kehilangan jika suatu saat beliau tidak bisa mengajar. Kehadirannya sangat dinantikan oleh para santri.

[1] KH.Ustman Aminullah merupakan murid Ahmad Hassan angkatan pertama ketika Persis pertama kali mendirikan pesantren. Beliau merupakan tokoh pertama yang menyebarkan faham al-quran dan as-Sunnah melalui jamiyyah Persis di wilayah Tasikmalaya dan sekitarnya. (Wawancara Pribadi dengan Pihak keluarga (Hj.E.Hamidah), 20 Juni 2011)
[2]  Hj.E.Hamidah, Ibunda Shiddiq Amien, Wawancara Pribadi, Tasikmalaya, Juni 2011
[3]  Dra. Imas Masaroh Amien, Bagian Kurikulum dan Guru Pesantren Persis 67 Benda, Wawancara Pribadi, 20 Juni 2011
[4]  KHE.Abdurrahman adalah Ketua Umum PP.Persis yang dilakukan melalui referendum dan selanjutnya melalui Muakhat (pengganti Muktamar). Periode kepemimpinan KHE.Abdurrahman ini merupakan periode kepemimpinan Persis ketiga setelah berakhirnya kepemimpinan KH.Mohammad Isa Anshary. Periode ini juga merupakan regenerasi kepemimpinan dari generasi pertama Persis ke eksponen Pemuda Persis, yang merupakan organisasi otonom Persis, tempat pembentukan kader-kader Persis. Lihat Dadan Wildan, Yang Da’i Yang Politikus : Hayat dan Perjuangan Lima Tokoh Persis (Bandung : Rosda, 1997, cet.Pertama, h.126-127)
[5] Ian Suherlan, Efri Aditia, Ustadz Shiddiq Amien Ulama Teladan Umat, Jakarta, Indonesia Press 2010, cet.1 hal

Diambil dari Naskah KH.SHIDDIQ AMIEN : INTELEKTUAL MUDA BERJIWA ULAMA (Karya : Abu Alifa Shihab) … yang belum diterbitkan!!

Minggu, 18 Maret 2012

Mubahalah Sesama Muslim


Tanya : Assalamu’alaikum … pak ustadz apakah dibolehkan bermubahalah karena perbedaan pendapat? Bagaimana cara bermubahalah yang pernah dicontohkan Nabi Muhammad saw?  Rieke Sul

Jawab : Wa’alaikumussalam, mubahalah asal dari kata bahl, yang mempunyai arti melepas. Atau dari kata bahlah atau buhlah yang bermakna melaknat atau mengutuk. Ibn Katsir mengartikan mubahalah ini dengan berbalas laknat (mula’anah). Mubahalah menurut istilah adalah dua pihak yang saling memohon dan berdoa kepada Allah supaya menurunkan laknat dan membinasakan pihak yang bathil atau mendustai kebenaran. Mubahalah berlangsung antar kedua belah pihak dengan membawa keluarga masing-masing dan disaksikan oleh kaum muslimin.

Ayat al-Quran yang m,enjadi rujukan mubahalah adalah QS.Ali Imran ayat 61.

Siapa yang membantahmu tentang kisah Isa sesudah datang ilmu (yang meyakinkan kamu), Maka Katakanlah (kepadanya): “Marilah kita memanggil anak-anak kami dan anak-anak kamu, isteri-isteri kami dan isteri-isteri kamu, diri kami dan diri kamu; kemudian marilah kita bermubahalah kepada Allah dan kita minta supaya la’nat Allah ditimpakan kepada orang-orang yang dusta.
Ayat tersebut turun pada tahun ke-9 Hijrah, bertalian dengan kedatangan delegasi Nasrani dari Najran yang berjumlah kurang lebih 60 orang, saat itu Nabi saw sedang shalat di Masjid Nabawi. Usai shalat Nabi berbicara dengan 3 perwakilan mereka (yaitu) al-Aqib (Abdul Masih), al-Ayham (As-Sayyid), dan Abu haritsah bin Alqamah. Pada awalnya, mereka bertiga mau mendebat Nabi soal ketuhanan Yesus. Akan tetapi, justru mereka bertiga  sendiri yang berselisih pendapat tentang Isa. Sebagian mengatakan Isa adalah tuhan. Sebagian mengatakan Isa adalah anak tuhan. Sebagian lagi mengatakan Isa adalah tuhan yang ketiga.
Kemudian Rasulullah saw berkata pada al-Aqib dan al-Ayham, “masuk Islam-lah kamu!”. Keduanya menjawab, : “kami telah Islam“. Rasul berkata lagi, “kamu belum masuk islam, maka masuk islam-lah”. Keduanya menjawab, “tidak, kami telah Islam“. Maka Rasul berkata, “Kamu berdua dusta. Kamu bukan Islam karena pengakuan kalian bahwa Allah beranak, menyembah salib dan makan daging babi”.

Perdebatan itu terus berlangsung, sampai turun ayat diatas. Maka Nabi saw mengajak mereka bermubahalah, dan mereka-pun menerima tawaran itu. Besok harinya, Nabi dengan membawa keluarganya datang ke suatu tempat. Bahkan Nabi sempat berkata kepada keluarganya, “jika kalian mendengar Aku melaknat mereka, maka ucapkanlah Amiin”.

Saat melihat Nabi saw membawa keluarganya, mereka dihantui rasa takut, sampai al-Aqib berkata : “….Sesungguhnya kita akan binasa dan takkan ada lagikaum Nasrani yang akan tersisa setelah itu diatas muka bumi ini…”(HR.Bukhary, Muslim, Tirmidzy, Nasa’I dan Ibn Majah)

Di Indonesia, pada tahun 1930-an, A Hassan, tokoh Persatuan Islam (Persis) juga pernah menantang kelompok Ahmadiyah untuk bermubahalah. Namun tantangan mubahalah itu tak pernah berani dilakukan oleh Ahmadiyah sampai saat ini. Meski begitu, Nabi palsu yang juga pentolan Ahmadiyah, Mirza Ghulam Ahmad pernah melakukan mubahalah yang berakibat pada tewasnya Mirza Ghulam Ahmad dalam keadaan sakit parah di tempat buang hajat.

Hindari mubahalah sesama muslim. Sebab tidak pernah dicontohkan oleh Nabi saw karena perbedaan pendapat dengan sesama muslim sampai melakukan mubahalah. Apalagi perbedaan tersebut hanya masalah khilafiyah dalam bidang furu’iyah. Allohu A’lam

Sabtu, 17 Maret 2012

Kedudukan Masbuq Berjamaah

Tanya Kang Abu, saya ingin bertanya mengenai hadits mengangkat (lagi) imam untuk yang masbuq, apa kang haditsnya? Kedudukan haditsnya gimana? Menurut pendapat akang gimana tentang hal ini ?   Priska Bdg dll.

JawabHadits yang dijadikan sandaran bahwa dalam shalat yang makmum ketinggalan (masbuq) yang kebetulan jumlah yang masbuqnya lebih dari satu orang, boleh membuat formasi/menjadi shalat berjama’ah adalah yang terdapat dalam kitab shahih muslim, jilid II bab ”al-mashu ’ala an-Nashiyah" begitu juga terdapat dalam bab ”taqdimu al-jama’ah man yushalli” dengan redaksi yang sedikit berbeda. Berikut adalah haditsnya:

أَنَّ الْمُغِيرَةَ بْنَ شُعْبَةَ أَخْبَرَهُ أَنَّهُ غَزَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَبُوكَ قَالَ الْمُغِيرَةُ فَتَبَرَّزَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قِبَلَ الْغَائِطِ فَحَمَلْتُ مَعَهُ إِدَاوَةً قَبْلَ صَلَاةِ الْفَجْرِ فَلَمَّا رَجَعَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَيَّ أَخَذْتُ أُهَرِيقُ عَلَى يَدَيْهِ مِنْ الْإِدَاوَةِ وَغَسَلَ يَدَيْهِ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ ثُمَّ غَسَلَ وَجْهَهُ ثُمَّ ذَهَبَ يُخْرِجُ جُبَّتَهُ عَنْ ذِرَاعَيْهِ فَضَاقَ كُمَّا جُبَّتِهِ فَأَدْخَلَ يَدَيْهِ فِي الْجُبَّةِ حَتَّى أَخْرَجَ ذِرَاعَيْهِ مِنْ أَسْفَلِ الْجُبَّةِ وَغَسَلَ ذِرَاعَيْهِ إِلَى الْمِرْفَقَيْنِ ثُمَّ تَوَضَّأَ عَلَى خُفَّيْهِ ثُمَّ أَقْبَلَ قَالَ الْمُغِيرَةُ فَأَقْبَلْتُ مَعَهُ حَتَّى نَجِدُ النَّاسَ قَدْ قَدَّمُوا عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ عَوْفٍ فَصَلَّى لَهُمْ فَأَدْرَكَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِحْدَى الرَّكْعَتَيْنِ فَصَلَّى مَعَ النَّاسِ الرَّكْعَةَ الْآخِرَةَ فَلَمَّا سَلَّمَ عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ قَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُتِمُّ صَلَاتَهُ فَأَفْزَعَ ذَلِكَ الْمُسْلِمِينَ فَأَكْثَرُوا التَّسْبِيحَ فَلَمَّا قَضَى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَاتَهُ أَقْبَلَ عَلَيْهِمْ ثُمَّ قَالَ أَحْسَنْتُمْ أَوْ قَالَ قَدْ أَصَبْتُمْ يَغْبِطُهُمْ أَنْ صَلَّوْا الصَّلَاةَ لِوَقْتِهَا

"Bahwasannya Muqhirah bin Syu’bah menceritakan, bahwa dia berperang bersama Rasulullah Saw diperang Tabuk. Mughirah berkata; Rasulullah hendak membuang hajat, kemudia mencari tempat yang tertutup, maka aku bawakan satu ember air sebelum shalat subuh, ketika beliau kembali, aku tuangkan air dari ember itu ketangannya, beliau membasuh tiga kali, kemudian membasuh wajahnya, kemudian menyingsingkan jubahnya untuk mengeluarkan lengannya, akan tetapi lengan jubah itu sempet, maka Rasulullah memasukan tangannya kedalam jubahnya dan mengeluarkannya dari bawah jubah, maka beliau membasuh kedua tangannya sampai kedua sikunya, kemudian beliau berwudlu di atas khuf (maksudnya tidak membasuh kaki, tapi beliau cukup mengusap bagian atas khuf (semacam kaos kaki yang terbuat dari kulit), kemudian beliau bergegas (menyusul rombongan), Mughirah berkata: akupun bergegas bersama beliau, maka kami mendapati rombongan (para sahabat) sedang shalat, dan Abdurrahman bin Auf yang menjadi imam mereka, dan sudah masuk rakaat terakhir. Maka ketika Abdurrahman bin Auf salam dan selesai shalat, Rasulullah menyempurnakan shalatnya, maka hal itu membuat kaum muslimin keheranan (Rasulullah menjadi ma’mum), merekapun memperbanyak tasbih, maka ketika Rasulullah selesai shalat, beliau menghadap kepada para sahabat dan berkata: ahsantum (kalian telah berbuat benar), Mughirah berkata: atau beliau waktu itu mengatakan: kalian benar, dimana mengajak manusia untuk shalat tepat pada waktunya.
Dalam riwayat lain dengan redaksi yang sedikit berbeda, namun pada kasus yang sama:

عَنْ عُرْوَةَ بْنِ الْمُغِيرَةِ بْنِ شُعْبَةَ عَنْ أَبِيهِ قَالَ تَخَلَّفَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَتَخَلَّفْتُ مَعَهُ فَلَمَّا قَضَى حَاجَتَهُ قَالَ أَمَعَكَ مَاءٌ فَأَتَيْتُهُ بِمِطْهَرَةٍ فَغَسَلَ كَفَّيْهِ وَوَجْهَهُ ثُمَّ ذَهَبَ يَحْسِرُ عَنْ ذِرَاعَيْهِ فَضَاقَ كُمُّ الْجُبَّةِ فَأَخْرَجَ يَدَهُ مِنْ تَحْتِ الْجُبَّةِ وَأَلْقَى الْجُبَّةَ عَلَى مَنْكِبَيْهِ وَغَسَلَ ذِرَاعَيْهِ وَمَسَحَ بِنَاصِيَتِهِ وَعَلَى الْعِمَامَةِ وَعَلَى خُفَّيْهِ ثُمَّ رَكِبَ وَرَكِبْتُ فَانْتَهَيْنَا إِلَى الْقَوْمِ وَقَدْ قَامُوا فِي الصَّلَاةِ يُصَلِّي بِهِمْ عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ وَقَدْ رَكَعَ بِهِمْ رَكْعَةً فَلَمَّا أَحَسَّ بِالنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَهَبَ يَتَأَخَّرُ فَأَوْمَأَ إِلَيْهِ فَصَلَّى بِهِمْ فَلَمَّا سَلَّمَ قَامَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقُمْتُ فَرَكَعْنَا الرَّكْعَةَ الَّتِي سَبَقَتْنَا

Dari muqhirah bin syu’bah dari ayahnya dia berkata: Rasulullah tertinggal (dari rombongan pasukan) dan aku tertinggal bersama beliau, ketika beliau selesai dari hajatnya, beliau bertanya apakah kamu ada air? Maka aku bawakan ember (tempat bersuci), kemudian membasuh kedua telapak tanganya, wajahnya dan menyingkap lengannya, namun lengan jubahnya terlalu sempit, maka beliau mengeluarkan tangannya dari bahwa jubah, dan meletakkan jubahnya di atas bahunya, kemudian beliau membasuh kedua lengannya dan mengusap ubun-ubunnya, dan bagian atas surbannya serta kedua khufnya (semacam kaos kaki dari kulit), kemudian beliau naik (kendaraan) dan akupun naik, ketika kami sampai pada rombongan kaum (para sahabat), mereka sedang shalat yang diimami oleh Abdurrahman bin Auf, dan sudah selesai satu rakaat, ketika (Abdurrahman bin Auf) menyadari kedatangan Rasulullah, dia mundur, maka Rasulullah memberi isyarat kepadanya, maka (Abdurrahman bin Auf) meneruskan tetap mengimami shalat mereka, maka ketika Abdurrahman bin Auf salam (selesai shalat), Rasulullah berdiri, dan aku berdiri, kami ruku’ (menyempurnakan) rakaat yang tertinggal.
Namun dalam hadits tersebut diatas, sejauh pemahaman saya tidak ada redaksi yang menunjukkan secara pasti bahwa Rasulullah Saw dengan Mughirah bin Syu’bah shalat secara berjama’ah ketika menyempurnakan raka’at yang tertinggal.
Mungkin lafadz “ركعنا /kami ruku’ (menyempurnakan rakaat yang tertinggal)”, itu yang difahami bahwa Rasulullah Saw dalam menyempurnakan rakaat yang tertinggal dilakukan dengan berjama’ah bersama Mughirah yang menggunakan kata kami. Sehingga dalam terjemahannya diterjemahkan berjama’ah. Padahal kata kami tidak menunjukkan bersama atau berjamaah, akan tetapi menunjukkan lebih dari satu orang (yang masbuq). Artinya Mughirah menerangkan dirinya dan Rasulullah menyempurnakan (menambah) rakaat yang tertinggal. Sekali lagi tidak ada dalam hadits tersebut lafadz yang menunjukkan kami lakukan dengan berjama’ah. Hal itu dikuatkan dengan hadits yang sebelumnya, dimana Mughirah hanya menerangkan bahwa Rasulullah kemudian menyempurnakan shalatnya, tanpa menerangkan dirinya sendiri, sehingga tidak menggunakan lafadz ”kami”. Jika ditinjau dari segi hukum fikih, bahwa makmum yang masbuq mempunyai status (nilai) berjama'ah, sebagaimana dengan jama’ah awal yang telah selesai shalat itu. Hal ini berdasarkan keterangan, diantaranya :
" …. Barangsiapa mendapati satu raka'at bersama imam berarti ia telah  mendapati shalat jama'ah" (Muttafaqun 'Alaihi dari Abi Harairah)
"….. Barangsiapa mendapati satu raka'at shalat Jum'at atau shalat jama'ah lainnya berarti ia telah mendapati shalat berjama'ah" (Sunan Ibnu Majah I/202 no. 1110 dari Ibn Umar)
"….Jika shalat telah ditegakkan maka janganlah kamu mendatanginya dengan tergesa-gesa. Berjalanlah dengan tenang dan kerjakanlah apa yang kamu dapati bersama imam serta sempurnakanlah apa yang terluput darinya" (Shahih Muslim I/420 no. 602 dari Abi Hurairah)
Hadits diatas menunjukkan bahwa pahala berjamaah telah terpenuhi, sekalipun hanya kebagian satu rakaat bersama imam berjamaah, tanpa harus membuat shalat berjamaah baru. Apalagi kalau kita melihat bagaimana saat para shahabat menambah satu rakaat (lagi) sampai lebih dari 2 orang (dalam shalat khauf), setelah mendapat satu rakaat masing-masing kelompok dengan Nabi saw. Dan para shahabat bahkan menambahkannya rakaat itu dikatakan masing-masing.
Dari Ibn Umar ra. berkata : Saya pernah (pergi) berperang bersama Rasulullah saw. Diarah Nejd, dan keadaan kami menghadap musuh. (Ketika mau shalat) kami membikin beberapa barisan menghadap mereka. Kemudian Rasul saw berdiri dan shalat bersama kami. Lalu satu golongan/barisan shalat (dulu) bersamanya dan satu barisan lagi menhadap musuh. Lalu Nabi ruku dan sujud dua kali (shalat satu rakaat) bersama barisan itu. Kemudian (barisan itu yang shalat) menggantikan tempat yang belum shalat (menghadap musuh). Lalu mereka (barisan penjaga musuh) datang dan Nabi shalat (juga) bersama mereka satu rakaat (ruku dan sujud), kemudian Nabi saw salam. Lalu berdiri (menambah rakaat) tiap-tiap seorang dari mereka, dan mereka ruku dan sujud dua kali (menambah satu rakaat) dengan sendiri-sendiri (HR.Bukhary Muslim). Allohu A'lam