Senin, 26 Desember 2011

MENGGUGAT CERAI


Tanya : Assalamualaikum Wr. Wb.  Abu Alifa yang baik, perkenalkan saya Theresa Wulan. Saya seorang mualaf yang sedang bingung tidak tau harus bagaimana. Saya menikah sudah hampir 4 tahun, memiliki seorang putra berusia 1,5 tahun. Sudah hampir 2 tahun ini saya dan suami ada masalah besar yang membuat saya memutuskan untuk pulang ke rumah orang tua saya pada akhir bulan agustus lalu. Permasalahan utamanya adalah saya menemukan suami saya bermesraan dengan wanita lain melalui Facebook dan itu sudah berlangsung sejak bulan desember 2009, suami saya sudah mengakuinya dan meminta maaf tetapi batin saya tersakiti dan tidak mampu untuk memaafkan dan bertahan dalam rumah tangga ini. Kasus perselingkuhan itu banyak memicu pertengkaran diantara kami selama hampir 2 tahun belakangan ini. Karena saya sudah tidak kuat lagi maka saya memutuskan untuk meninggalkan rumah suami saya (dengan sebelumnya saya meminta ijin suami untuk sementara saling intropeksi diri), tepatnya tgl 30 Agustus 2011 lalu, sampai hari ini tepatnya 4 bulan sudah kami pisah rumah. Selama 4 bulan itu pula suami saya tidak menengok saya dan anak kami, juga tidak memberi nafkah lahir batin. Akhirnya saya memutuskan untuk kembali bekerja pada bulan Oktober lalu untuk menghidupi anak saya. Yang ingin sekali saya tanyakan adalah...


1. Apakah saya bisa meminta cerai kepada suami saya karna sudah 4 bulan lamanya tidak menafkahi saya?
2. Apa yang sebaiknya saya perbuat? 
3. Kemana saya harus pergi untuk mengurus perceraian tersebut?
Mohon bantuannya ustadz, karena situasi ini membuat saya sangat bingung dan sedih.... Sebelum dan sesudahnya saya ucapkan banyak terimakasih. Wasalam. Sha Zoe

Jawab : Wa'alaikumussalam Wr.Wb. Ibu Sha, dalam mensikapi setiap permasalahan rumah tangga diperlukan sikap jernih dan tidak cepat memvonis antar kedua belah pihak. Apalagi jika kesalahan salah satu pihak belum begitu jelas. Apabila sudah jelas kekeliruan dari pasangan kita, cermati dan perhitungkan juga kebaikan-kebaikan yang pernah kita terima dari pasangan kita itu. Sehingga dengan demikian kita bisa mempertimbangkan masak-masak langkah selanjutnya. Terlebih kesalahan itu tidak terlalu fatal.
Suami ibu sudah minta maaf atas kekeliruan yang ia perbuat selama ini. Dengan pertimbangan diatas kiranya ibu bisa mengambil sikap yang bijak. Perasaan sakit hati ibu bisa dimaklumi sampai ibu tidak bersedia untuk memaafkan kekeliruan yang suami lakukan. Tapi ibu juga harus ingat, memaafkan kekeliruan lebih berharga dan bernilai, dibandingkan dengan mengikuti perasaan ibu selama ini. Dan didalam perasaan ibu yang paling dalam terbersit kecintaan yang luar biasa terhadap suami. Hal ini terbukti dengan keinginan untuk ditengok dan mendapatkan nafkah lahir dan bathin ibu. Mudah-mudahan hal ini menjadi pertimbangan ibu, sebelum melangkah apa yang ditanyakan ibu.
Adapun point yang ibu pertanyakan:
Pertama, menggugat cerai (minta cerai) kepada suami dalam Islam bias saja. Tapi hal tersebut tergantung alasan ibu. Sebab jika alasan itu hanya mengada-ngada, maka hal inilah yang dikatakan oleh Nabi saw : "Wanita yang meminta cerai dari suami pertanda wanita munafiq". Sebab ibu sendiri yang minta pergi dari rumah, bukan suami yang meninggalkan ibu selama ini. Apalagi suami sudah minta maaf.
Kedua, sebaiknya ibu berkomunikasi dengan suami, baik itu untuk memperbaiki rumah tangga atau keinginan ibu dilepas oleh suami. Perlu ibu ketahui bahwa suami ibu masih berhak sama ibu, sebelum ibu dithalaq oleh suami atau menggugat kepada suami.
Ketiga, tentu untuk melegalkan gugatan ibu sebaiknya langsung ke KUA. Dan disana tentu tidak akan langsung dikabulkan, akan tetapi akan ditanya permasalahannya dulu. Bahkan mungkin menjadi mediasi antara ibu dengan suami. Oleh karena itu pertimbangkan dengan cermat dan penuh kearifan. Jangan sampai hanya mengikuti perasaan ibu saja. Mudah-mudahan Allah swt memberikan jalan keluar yang terbaik untuk keberlangsungan rumah tangga ibu. Allohu A'lam

Rabu, 30 November 2011

Delapan Tanda Orang Ikhlas


Tazkiyatun Nufus

Ayat Al Qur'an surat Al Ikhlash
Dua Syarat Amal
Amal yang kita lakukan akan diterima Allah jika memenuhi dua rukun. Pertama, amal itu harus didasari oleh keikhlasan dan niat yang murni: hanya mengharap keridhaan Allah swt. Kedua, amal perbuatan yang kita lakukan itu harus sesuai dengan sunnah Nabi saw.
Syarat pertama menyangkut masalah batin. Niat ikhlas artinya saat melakukan amal perbuatan, batin kita harus benar-benar bersih. Rasulullah saw. bersabda, “Innamal a’maalu bin-niyyaat, sesungguhnya amal perbuatan itu tergantung niatnya.” (Bukhari dan Muslim). Berdasarkan hadits itu, maka diterima atau tidaknya suatu amal perbuatan yang kita lakukan oleh Allah swt. sangat bergantung pada niat kita.
Sedangkan syarat yang kedua, harus sesuai dengan syariat Islam. Syarat ini menyangkut segi lahiriah. Nabi saw. berkata, “Man ‘amala ‘amalan laisa ‘alaihi amrunaa fahuwa raddun, barangsiapa yang mengerjakan suatu perbuatan yang tidak pernah kami diperintahkan, maka perbuatan itu ditolak.” (Muslim).
Tentang dua syarat tersebut, Allah swt. menerangkannya di sejumlah ayat dalam Alquran. Di antaranya dua ayat ini. “Dan barangsiapa yang menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang dia orang yang berbuat kebaikan, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang kokoh….” (Luqman: 22). “Dan siapakah yang lebih baik agamanya daripada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang dia pun mengerjakan kebaikan….” (An-Nisa: 125)
Yang dimaksud dengan “menyerahkan diri kepada Allah” di dua ayat di atas adalah mengikhlaskan niat dan amal perbuatan hanya karena Allah semata. Sedangkan yang yang dimaksud dengan “mengerjakan kebaikan” di dalam ayat itu ialah mengerjakan kebaikan dengan serius dan sesuai dengan sunnah Rasulullah saw.
Fudhail bin Iyadh pernah memberi komentar tentang ayat 2 surat Al-Mulk, “Liyabluwakum ayyukum ahsanu ‘amala, supaya Allah menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya.” Menurutnya, maksud “yang lebih baik amalnya” adalah amal yang didasari keikhlasan dan sesuai dengan sunnah Nabi saw.
Seseorang bertanya kepadanya, “Apa yang dimaksud dengan amal yang ikhlas dan benar itu?” Fudhail menjawab, “Sesungguhnya amal yang dilandasi keikhlasan tetapi tidak benar, tidak diterima oleh Allah swt. Sebaliknya, amal yang benar tetapi tidak dilandasi keikhlasan juga tidak diterima oleh Allah swt. Amal perbuatan itu baru bisa diterima Allah jika didasari keikhlasan dan dilaksanakan dengan benar. Yang dimaksud ‘ikhlas’ adalah amal perbuatan yang dikerjakan semata-mata karena Allah, dan yang dimaksud ‘benar’ adalah amal perbuatan itu sesuai dengan tuntunan Rasulullah saw.” Setelah itu Fudhail bin Iyad membacakan surat Al-Kahfi ayat 110, “Barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaknya ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya.”
Jadi, niat yang ikhlas saja belum menjamin amal kita diterima oleh Allah swt., jika dilakukan tidak sesuai dengan apa yang digariskan syariat. Begitu juga dengan perbuatan mulia, tidak diterima jika dilakukan dengan tujuan tidak mencari keridhaan Allah swt.
Delapan Tanda Keikhlasan
Ada delapan tanda-tanda keikhlasan yang bisa kita gunakan untuk mengecek apakah rasa ikhlas telah mengisi relung-relung hati kita. Kedelapan tanda itu adalah:
1. Keikhlasan hadir bila Anda takut akan popularitas
Imam Ibnu Syihab Az-Zuhri berkata, “Sedikit sekali kita melihat orang yang tidak menyukai kedudukan dan jabatan. Seseorang bisa menahan diri dari makanan, minuman, dan harta, namun ia tidak sanggup menahan diri dari iming-iming kedudukan. Bahkan, ia tidak segan-segan merebutnya meskipun harus menjegal kawan atau lawan.” Karena itu tak heran jika para ulama salaf banyak menulis buku tentang larangan mencintai popularitas, jabatan, dan riya.
Fudhail bin Iyadh berkata, “Jika Anda mampu untuk tidak dikenal oleh orang lain, maka laksanakanlah. Anda tidak merugi sekiranya Anda tidak terkenal. Anda juga tidak merugi sekiranya Anda tidak disanjung ornag lain. Demikian pula, janganlah gusar jika Anda menjadi orang yang tercela di mata manusia, tetapi menjadi manusia terpuji dan terhormat di sisi Allah.”
Meski demikian, ucapan para ulama tersebut bukan menyeru agar kita mengasingkan diri dari khalayak ramai (uzlah). Ucapan itu adalah peringatan agar dalam mengarungi kehidupan kita tidak terjebak pada jerat hawa nafsu ingin mendapat pujian manusia. Apalagi, para nabi dan orang-orang saleh adalah orang-orang yang popular. Yang dilarang adalah meminta nama kita dipopulerkan, meminta jabatan, dan sikap rakus pada kedudukan. Jika tanpa ambisi dan tanpa meminta kita menjadi dikenal orang, itu tidak mengapa. Meskipun itu bisa menjadi malapetaka bagi orang yang lemah dan tidak siap menghadapinya.
2. Ikhlah ada saat Anda mengakui bahwa diri Anda punya banyak kekurangan
Orang yang ikhlas selalu merasa dirinya memiliki banyak kekurangan. Ia merasa belum maksimal dalam menjalankan segala kewajiban yang dibebankan Allah swt. Karena itu ia tidak pernah merasa ujub dengan setiap kebaikan yang dikerjakannya. Sebaliknya, ia cemasi apa-apa yang dilakukannya tidak diterima Allah swt. karena itu ia kerap menangis.
Aisyah r.a. pernah bertanya kepada Rasulullah saw. tentang maksud firman Allah: “Dan orang-ornag yang mengeluarkan rezeki yang dikaruniai kepada mereka, sedang hati mereka takut bahwa mereka akan kembali kepada Tuhan mereka.” Apakah mereka itu orang-orang yang mencuri, orang-orang yang berzina, dan para peminum minuman keras, sedang mereka takut akan siksa dan murka Allah ‘Azza wa jalla? Rasulullah saw. menjawab, “Bukan, wahai Putri Abu Bakar. Mereka itu adalah orang-orang yang rajin shalat, berpuasa, dan sering bersedekah, sementera mereka khawatir amal mereka tidak diterima. Mereka bergegas dalam menjalankan kebaikan dan mereka orang-orang yang berlomba.” (Ahmad).
3. Keikhlasan hadir ketika Anda lebih cenderung untuk menyembunyikan amal kebajikan
Orang yang tulus adalah orang yang tidak ingin amal perbuatannya diketahui orang lain. Ibarat pohon, mereka lebih senang menjadi akar yang tertutup tanah tapi menghidupi keseluruhan pohon. Ibarat rumah, mereka pondasi yang berkalang tanah namun menopang keseluruhan bangunan.
Suatu hari Umar bin Khaththab pergi ke Masjid Nabawi. Ia mendapati Mu’adz sedang menangis di dekat makam Rasulullah saw. Umar menegurnya, “Mengapa kau menangis?” Mu’adz menjawab, “Aku telah mendengar hadits dari Rasulullah saw. bahwa beliau bersabda, ‘Riya sekalipun hanya sedikit, ia termasuk syirik. Dan barang siapa memusuhi kekasih-kekasih Allah maka ia telah menyatakan perang terhadap Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang baik, takwa, serta tidak dikenal. Sekalipun mereka tidak ada, mereka tidak hilang dan sekalipun mereka ada, mereka tidak dikenal. Hati mereka bagaikan pelita yang menerangi petunjuk. Mereka keluar dari segala tempat yang gelap gulita.” (Ibnu Majah dan Baihaqi)
4. Ikhlas ada saat Anda tak masalah ditempatkan sebagai pemimpin atau prajurit
Rasulullah saw. melukiskan tipe orang seperti ini dengan berkataan, “Beruntunglah seorang hamba yang memegang tali kendali kudanya di jalan Allah sementara kepala dan tumitnya berdebu. Apabila ia bertugas menjaga benteng pertahanan, ia benar-benar menjaganya. Dan jika ia bertugas sebagai pemberi minuman, ia benar-benar melaksanakannya.”
Itulah yang terjadi pada diri Khalid bin Walid saat Khalifah Umar bin Khaththab memberhentikannya dari jabatan panglima perang. Khalid tidak kecewa apalagi sakit hati. Sebab, ia berjuang bukan untuk Umar, bukan pula untuk komandan barunya Abu Ubaidah. Khalid berjuang untuk mendapat ridha Allah swt.
5. Keikhalasan ada ketika Anda mengutamakan keridhaan Allah daripada keridhaan manusia
Tidak sedikit manusia hidup di bawah bayang-bayang orang lain. Bila orang itu menuntun pada keridhaan Allah, sungguh kita sangat beruntung. Tapi tak jarang orang itu memakai kekuasaannya untuk memaksa kita bermaksiat kepada Allah swt. Di sinilah keikhlasan kita diuji. Memilih keridhaan Allah swt. atau keridhaan manusia yang mendominasi diri kita? Pilihan kita seharusnya seperti pilihan Masyithoh si tukang sisir anak Fir’aun. Ia lebih memilih keridhaan Allah daripada harus menyembah Fir’aun.
6. Ikhlas ada saat Anda cinta dan marah karena Allah
Adalah ikhlas saat Anda menyatakan cinta dan benci, memberi atau menolak, ridha dan marah kepada seseorang atau sesuatu karena kecintaan Anda kepada Allah dan keinginan membela agamaNya, bukan untuk kepentingan pribadi Anda. Sebaliknya, Allah swt. mencela orang yang berbuat kebalikan dari itu. “Dan di antara mereka ada orang yang mencela tentang (pembagian) zakat. Jika mereka diberi sebagian daripadanya, mereka bersenang hati, dan jika mereka tidak diberi sebagian daripadanya, dengan serta merta mereka menjadi marah.” (At-Taubah: 58)
7. Keikhalasan hadir saat Anda sabar terhadap panjangnya jalan
Keikhlasan Anda akan diuji oleh waktu. Sepanjang hidup Anda adalah ujian. Ketegaran Anda untuk menegakkan kalimatNya di muka bumi meski tahu jalannya sangat jauh, sementara hasilnya belum pasti dan kesulitan sudah di depan mata, amat sangat diuji. Hanya orang-orang yang mengharap keridhaan Allah yang bisa tegar menempuh jalan panjang itu. Seperti Nabi Nuh a.s. yang giat tanpa lelah selama 950 tahun berdakwah. Seperti Umar bin Khaththab yang berkata, “Jika ada seribu mujahid berjuang di medan juang, aku satu di antaranya. Jika ada seratus mujahid berjuang di medan juang, aku satu di antaranya. Jika ada sepuluh mujahid berjuang di medan juang, aku satu di antaranya. Jika ada satu mujahid berjuang di medan juang, itulah aku!”
8. Ikhlas ada saat Anda merasa gembira jika kawan Anda memiliki kelebihan
Yang paling sulit adalah menerima orang lain memiliki kelebihan yang tidak kita miliki. Apalagi orang itu junior kita. Hasad. Itulah sifat yang menutup keikhlasan hadir di relung hati kita. Hanya orang yang ada sifat ikhlas dalam dirinya yang mau memberi kesempatan kepada orang yang mempunyai kemampuan yang memadai untuk mengambil bagian dari tanggung jawab yang dipikulnya. Tanpa beban ia mempersilakan orang yang lebih baik dari dirinya untuk tampil menggantikan dirinya. Tak ada rasa iri. Tak ada rasa dendam. Jika seorang leader, orang seperti ini tidak segan-segan membagi tugas kepada siapapun yang dianggap punya kemampuan.
Wallohu 'Alamu Bish Showaab
 

Selasa, 29 November 2011

PERAYAAN TAHUN BARU HIJRIAH


HUKUM MEMPERINGATI TAHUN BARU HIJRIAH

Oleh: Ibnu Muchtar

Orang yang beriman tidak akan terkesan dan terpengaruh oleh sesuatu yang mereka lihat dari musuh-musuh Allah. Sebab ia yakin di dalam kepribadian Islam terdapat kebaikan serta kebahagiaan dunia dan akhirat. Karena itu, ia akan bersikap hati-hati terhadap berbagai cara dan pola hidup yang tidak jelas dalilnya. Sikap kehati-hatian itu diwujudkan dengan mempertanyakan berbagai macam acara dan upacara yang dikenal di dalam Islam, meskipun dikemas dengan nama dan istilah arabi bahkan islami, seperti tahun baru hijriah atau tahun baru Islam.

Sejarah Penetapan Tahun Hijriah

Tatkala Ya’la bin Umayah menjadi gubernur di Yaman pada zaman khalifah Abu Bakar, ia pernah melontarkan gagasan tentang perlunya kalender Islam yang akan dipakai sebagai patokan penanggalan. Pada waktu itu,catatan yang dipergunakan kaum muslim belum seragam. Ada yang memakai tahun gajah (‘amul fil), terhitung sejak raja Abrahah dari Yaman menyerang Kabah (yang secara kebetulan adalah tanggal kelahiran Nabi saw.); ada yang mendasarkan pada peristiwa-peristiwa yang menonjol dan berarti yang terjadi di zaman mereka. Misalnya, tahun pertama hijrah Nabi dinamakan tahun al-Izn, karena izin hijrah diberikan  pada tahun itu. Tahun kedua disebut tahun Amr, karena pada tahun itu Allah swt. telah memberikan perintah kepada kaum muslim untuk bertempur untuk melawan kaum musyrik Mekah.
            Akan tetapi, realisasi tentang penetapan penanggalan yang dipakai oleh umat Islam barulah terjadi di zaman Khalifah Umar. Menurut keterangan al-Biruni, khalifah menerima sepucuk surat dari Abu Musa al-Asy’ari yang menjadi gubernur di Bashrah (Irak), isinya menyatakan, “Kami telah banyak menerima surat dari Amirul Mu’minin, dan kami tidak tahu mana yang harus dilaksanakan. Kami sudah membaca satu perbuatan yang bertanggal sya’ban, namun kami tidak tahu sya’ban mana yang maksud. Sya’ban sekarang atau sya’ban mendatang di tahun depan?”
            Surat Abu Musa rupanya dirasakan oleh Khalifah Umar sebagai sindiran halus tentang perlunya ditetapkan satu penanggalan (kalender) yang seragam, yang dipergunakan sebagai tanggal, baik dikalangan pemerintahan maupun untuk keperluan umum.
            Untuk menetapkan momentum apa yang sebaiknya dipergunakan dalam menentukan permulaan tahun Islam itu, Khalifah mengadakan musyawarah dengan semua ulama dan para tokoh muslim. Dalam pertemuan itu ada empat usul yang dikemukakan, yaitu:
1. Dihitung dari kelahiran Nabi Muhammad saw.;
2. Dihitung dari wafat Rasulullah saw.;
3. Dihitung dari hari Rasulullah menerima wahyu pertama di gua Hira yang merupakan awal tugas risalah kenabian;
4. Dihitung mulai dari tanggal dan bulan Rasulullah melakukan hijrah dari Mekah ke Madinah (usul yang yang terakhir ini diajukan oleh Ali bin Abu Thalib).
Tetapi baik kelahiran Nabi, maupun permulaan risalah kenabian tidak diambil sebagai awal penanggalan Islam, karena tanggal-tanggal tersebut menimbulkan kontroversi mengenai waktu yang pasti dari kejadian-kejadian itu. Hari wafat Nabi juga tidak berhasil dijadikan tanggal permulaan kalender, karena dipertautkan dengan kenang-kenangan menyedihkan pada hari wafatnya. Besar kemungkinan nanti akan menimbulkan perasaan-perasaan sedih dan sendu dalam kalbu  kaum muslim. Akhirnya, disetujuilah agar penanggalan Islam ditetapkan berdasarkan hijrah Rasul dari Mekah ke Madinah.
            Kapankah tepatnya beliau hijrah ke Madinah? Beragam informasi dijumpai pada kitab-kitab tarikh tentang peristiwa itu. Imam at-Thabari dan Ibnu Ishaq menyatakan, “Sebelum sampai di Madinah (waktu itu bernama Yatsrib), Rasulullah saw. singgah di Quba pada hari Senin 12 Rabi’ul Awwal tahun 13 kenabian/24 September 622 M  waktu Dhuha (sekitar jam 8.00 atau 9.00). Di tempat ini, beliau tinggal di keluarga Amr bin Auf selama empat hari (hingga hari Kamis 15 Rabi’ul Awwal/27 September 622 M. dan membangun mesjid pertama (yang disebut mesjid Quba). Pada hari Jumat 16 Rabi’ul Awwal/28 September 622 M, beliau berangkat menuju Madinah. Di tengah perjalanan, ketika beliau berada di Bathni wadin (lembah di sekitar Madinah) milik keluarga Banu Salim bin ‘Auf, datang kewajiban Jumat (dengan turunnya ayat 9 surat al-Jum’ah). Maka Nabi salat Jumat bersama mereka dan khutbah di tempat itu. Inilah salat Jumat yang pertama di dalam sejarah Islam. Setelah melaksanakan salat Jumat, Nabi melanjutkan perjalanan menuju Madinah”. (Lihat,Tarikh at-Thabari, I:571; Sirah Ibnu Hisyam, juz III, hal. 22; Tafsir al-Qurthubi, juz XVIII, hal. 98).
Keterangan di atas menunjukkan bahwa Nabi tiba di Madinah pada hari Jumat 16 Rabi’ul Awwal/28 September 622 M. Sedangkan ahli tarikh lainnya berpendapat hari Senin 12 Rabi’ul Awwal/5 Oktober 621 M, namun ada pula yang menyatakan hari Jumat 12 Rabi’ul Awwal/24 Maret 622 M.
Terlepas dari perbedaan tanggal dan tahun, baik hijriah maupun masehi, namun para ahli tarikh semuanya bersepakat bahwa hijrah Nabi terjadi pada bulan Rabi’ul Awwal, bukan bulan Muharram (awal Muharram ketika itu jatuh pada tanggal 15 Juli 622 M).
            Ketika para sahabat sepakat menjadikan hijrah Nabi sebagai permulaan kalender Islam, timbul persoalan lain di kalangan mereka tentang permulaan bulan pada kalender itu. Ada yang mngusulkan Rabi’ul Awwal (sebagai bulan hijrahnya Rasulullah saw. ke Madinah). Namun ada pula yang mengusulkan bulan Muharram. Namun akhirnya Umar memutuskan bahwa tahun 1 Islam/Hijriah di awali dengan 1 Muharram bertepatan dengan tanggal 16 Juli 622 M. Dengan demikian, antara permulaan hijrah Nabi dan permulaan kalender Islam sesungguhnya terdapat jarak sekitar 82 hari.
Peristiwa penetapan kalender Islam oleh Umar ini terjadi pada hari Rabu, dua puluh hari sebelum berakhirnya Jumadil Akhir, tahun ke-17 sesudah hijrah atau pada tahun ke-4 dari kekhalifahan Umar bin Khatab. (Lihat, tulisan Dr. Thomas Djamaluddin tentang “Kalender Hijriah” dalam buku Almanak Alam Islami, hal. 183-184, dan Makalah tentang “Konsistensi Historis-Astronomis Kalender Hijriah”)
Asal Muasal Peringatan Tahun Hijriah
Peringatan tahun baru Islam tiap 1 Muharam baru dimulai sejak tahun 1970-an yang berasal dari ide pertemuan cendekiawan muslim di Amerika Serikat. Waktu itu terjadi fenomena maraknya dakwah, masjid-masjid dipenuhi jemaah, dan munculnya jilbab hingga kemudian dikatakan sebagai kebangkitan Islam, Islamic Revival. (Lihat, Pikiran Rakyat Online)
Dari kedua latar belakang sejarah di atas dapat diambil kesimpulan bahwa

1. penetapan bulan Muharram oleh Umar bin Khatab sebagai permulaan tahun hijriah tidak didasarkan atas pengagungan dan peringatan peristiwa hijrah Nabi. Buktinya beliau tidak menetapkan bulan Rabi’ul Awwal (bulan hijrahnya Rasul ke Madinah) sebagai permulaan bulan pada kalender Hijriah. Lebih jauh dari itu, beliau pun tidak pernah mengadakan peringatan tahun baru hijriah, baik tiap bulan Muharram maupun Rabi’ul Awwal, selama kekhalifahannya.

2.Peringatan tahun baru hijriah pada bulan Muharram dengan alasan memperingati hijrah Nabi ke Madinah merupakan kesalahkaprahan, karena Nabi hijrah pada bulan Rabi’ul Awwal, bukan bulan Muharram.

3.Menyelenggarakan berbagai bentuk acara dan upacara untuk menyambut tahun baru Hijriah adalah bid’ah dhalalah (sesat dan menyesatkan).


Senin, 28 November 2011

SELAMAT MUSYKER PW.PERSIS DKI JAKARTA

"SELAMAT DAN SUKSES"
 
PELANTIKAN TASYKIL PW PERSIS DKI JAKARTA MASA JIHAD 2011-2015
DAN MUSYAWARAH KERJA TAHUN 2011/2012
SABTU-AHAD 3-4 DESEMBER 2011
DI WISWA BAHTERA CIPAYUNG
BIDGAR DA'WAH PW PERSIS DKI JAKARTA
 

Minggu, 27 November 2011

TANYA JAWAB


 Kehidupan Jin


Tanya : Bismillah, ustadz Abu …apakah kita dibenarkan meminta pertolongan Jin? Dan apakah Jin itu bisa dilihat? Dan apakah Jin itu suka makan? Dimana tempat Jin itu? DF Klender Jakarta Timur

Jawab
: Kalau kita lihat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata jin diartikan sebagai makhluk halus (yang dianggap berakal). Dari segi bahasa Alquran, kata jin terambil dari akar kata yang terdiri dari tiga huruf: jim, nun, nun.
Menurut pakar-pakar bahasa, semua kata yang terdiri dari rangkaian ketiga huruf ini mengandung makna ketersembunyian atau ketertutupan. Kata janna dalam Alquran surah Al-An’am ayat 76 berarti menutup. Kebun yang lebat pepohonannya sehingga menutup pandangan dinamai jannah. Surga juga dinamai jannah karena hingga kini ia masih tersembunyi, tidak terlihat oleh mata. Manusia yang tertutup akalnya (gila) dinamai majnuun, sedangkan bayi yang masih dalam perut ibu karena ketertutupannya oleh perut dinamai janin. Al-junnah adalah perisai karena dia menutupi seseorang dari gangguan orang lain, baik fisik maupun nonfisik.


Orang-orang munafik menjadikan sumpah mereka sebagai junnah demikian Alquran surah Al-Munafiqun ayat 3, yakni menjadikannya sebagai penutup kesalahan agar mereka terhindar dari kecaman atau sanksi. Kalbu manusia dinamai janaan karena ia dan isi hati tertutup dari pandangan dan pengetahuan. Karena itu pula roh dinamai janaan. Kubur, orang mati, kafan semuanya dapat dilukiskan dengan kata janaan karena ketertutupan dan ketersembunyian yang selalu berkaitan dengannya. Kata jin pun demikian, ia tersembunyi dan tertutup. Tetapi, apa makna ketertutupan dan ketersembunyiannya, serta sampai di mana batasnya?

Haram hukumnya meminta bantuan jin untuk mengetahui penyakit yang hinggap atau cara mengobatinya, atau untuk hal apapun. Karena meminta pertolongan dari jin itu syirik, berdasarkan firman Allah:

Dan bahwasannya ada beberapa orang laki-laki di antara manusia meminta perlindungan kepada beberapa laki-laki di antara jin, maka jin-jin itu menambah bagi mereka dosa dan kesalahan..” (Q.S Al-Jin : 6)

Manusia tidak dapat melihat jin dalam bentuk yang asli karena Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

يَا بَنِي آدَمَ لاَ يَفْتِنَنَّكُمُ الشَّيْطَانُ كَمَا
أَخْرَجَ أَبَوَيْكُم مِّنَ الْجَنَّةِ يَنزِعُ عَنْهُمَا لِبَاسَهُمَا لِيُرِيَهُمَا سَوْءَاتِهِمَا إِنَّهُ يَرَاكُمْ هُوَ وَقَبِيلُهُ مِنْ حَيْثُ لاَ تَرَوْنَهُمْ إِنَّا جَعَلْنَا الشَّيَاطِينَ أَوْلِيَاء لِلَّذِينَ لاَ يُؤْمِنُونَ

Wahai anak Adam, janganlah sekali-kali kamu dapat ditipu oleh setan, sebagaimana ia telah mengeluarkan kedua ibu-bapakmu dari surga; ia menanggalkan pakaiannya dari keduanya untuk memperlihatkan–kepada keduanya–‘auratnya. Sesungguhnya, ia (iblis/setan) dan pengikut-pengikutnya melihat kamu dari suatu tempat yang (di sana) kamu tidak bisa melihat mereka. Sesungguhnya, Kami telah menjadikan setan-setan itu pemimpin-pemimpin bagi orang-orang yang tidak beriman.” (Qs. Al-A’raf:27)

Al-Hafizh Ibnu Hajar mengatakan, “Setan terkadang menjelma dengan berbagai bentuk sehingga memungkinkan (bagi manusia) untuk melihatnya. Firman Allah ta’ala, ‘Sesungguhnya, ia (iblis/setan) dan pengikut-pengikutnya melihat kamu dari suatu tempat yang (di sana) kamu tidak bisa melihat mereka,’ dikhususkan pada kondisi bentuknya (yang asli) yang Allah telah ciptakan.” (Fathul Bari, penjelasan hadis no. 2311)
Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra. bahwa suatu ketika Nabi Saw membawa sebelanga air untuk berwhudu dan berhajat. (ketika ia [Abu Hurairah] mengikutinya, Nabi Saw bersabda, "siapa ini?" ia berkata, "aku, Abu Hurairah". Nabi Saw bersabda, "bawakan aku batu (untuk bersuci), jangan tulang atau kotoran hewan". Abu Hurairah selanjutnya berkata; maka dengan ujung bajuku aku membawakan sejumlah batu dan setelah itu pergi menjauh. setelah selesai, aku berjalan bersamanya dan berkata, "mengapa (kau melarangku membawa) tulang atau kotoran binatang?" Nabi Saw bersabda, "itu makanan jin".(HRBukhary 115)

Diriwayatkan dari ‘Abdullah bin Mas’ud r.a. berkata, “Rasulullah saw. mendatangi tempat buang air lalu memerintahkan aku untuk mencari tiga buah batu. Aku menemukan dua buah batu dan berusaha mencari satu lagi namun tidak kutemukan. Lalu aku mengambil kotoran hewan dan membawanya kepada Rasulullah saw. Beliau mengambil dua buah batu dan membuang kotoran hewan. Beliau bersabda, ‘Benda ini adalah kotoran (najis)’,”[1] (HR Bukhari (156).
Diriwayatkan dari ‘Amir, ia berkata, “Aku bertanya kepada ‘Al-Qamah, apakah Ibnu Mas’ud turut menyaksikan bersama Rasulullah saw. pada malam beliau bertemu utusan jin?” ‘Al-Qamah berkata, “Aku telah bertanya kepada ‘Abdullah bin Mas’ud, Adakah salah seorang dari kalian yang menyertai Rasulullah saw. pada malam beliau bertemu dengan utusan jin?” Ia menjawab, “Tidak ada! Namun pada malam itu kami bersama Rasulullah saw., lalu kami kehilangan beliau. Kami telah mencari beliau di lembah dan jalan perbukitan, namun tidak menemukan beliau, hingga kami katakan, ‘Barangkali beliau dibawa jin atau beliau dibunuh secara misterius.’ Kami pun melewati malam paling kelabu dalam hidup kami. Pagi harinya tiba-tiba beliau muncul dari arah Hiraa’. Kami berkata, ‘Wahai Rasulullah, kami kehilanganmu dan kami telah berusaha mencarimu namun tidak ketemu, kami pun melewati malam paling kelabu dalam hidup kami.” Lalu beliau mengatakan, “Seorang utusan jin datang menemuiku, lalu aku pergi bersamanya. Aku membacakan Al-Qur’an kepada mereka.” Kemudian Rasulullah saw. membawa kami ke tempat itu dan memperlihatkan kepada kami jejak-jejak mereka dan bekas api unggun mereka. Mereka telah meminta bekal kepada Rasulullah saw. Beliau berkata, “Bagi kalian setiap tulang yang kalian temukan yang diucapkan nama Allah padanya. Makanan itu lebih baik bagi kamu dari pada daging, dan setiap kotoran hewan adalah makanan bagi hewan tunggangan kalian.” Kemudian Rasulullah saw. berkata, “Maka dari itu, janganlah kalian beristinja’ dengan kedua benda tersebut karena keduanya adalah makanan saudara kalian dari kalangan jin,” (HR Muslim 450).

Seperti halnya manusia, jin juga punya tempat tinggal dan bahkan beranak pinak. Tentu saja, tempat tinggalnya berbeda dengan tempat tinggal manusia. Rumahnya tak terlihat oleh manusia. Bahkan, dalam berbagai literatur, disebutkan bahwa sebelum Nabi Muhammad SAW diutus menjadi rasul, kaum jin pernah menduduki beberapa tempat yang ada di langit. Di sana, mereka mendengar berita dan informasi yang ada di langit. Namun, ketika Muhammad diangkat menjadi nabi dan rasul, para jin ini tidak lagi tinggal di tempat tersebut. Bahkan, mereka juga tak mampu mencari informasi atau kabar dari langit. Lihat surah Al-Jin ayat 8-9. Sejak tak mampu lagi menembus kabar dari langit dan bertempat tinggal di sana, para jin mencari tempat tinggal yang baru. Mereka tinggal di atas muka bumi ini. Rasul SAW mengabarkan, banyak tempat yang disukai oleh jin, di antaranya laut, kamar mandi, tempat yang kotor (sampah), dan lainnya.

Toilet adalah salah satu tempat di muka bumi yang disukai jin. Karena itu, Nabi SAW menganjurkan setiap orang yang akan memasuki toilet memohon perlindungan Allah SWT dengan membaca, "Allahumma inni a'udzu bika min al-khubutsi wa al-khaba'its (Ya, Allah, aku memohon perlindunganmu dari gangguan jin pria dan jin wanita)."

Quraish Shihab menjelaskan, pegunungan, lautan, pasar, dan atap rumah juga disebut-sebut dalam berbagai riwayat sebagai tempat yang disukai jin. Ibnu Taimiyah menulis bahwa jin banyak berada di tempat-tempat kumuh, yang di dalamnya terapat najis, seperti tempat pembuangan sampah dan kuburan.

Sebagaimana manusia dan hewan, para jin ini juga makan dan minum, menikah, dan beranak pinak. Menurut Syekh Abdul Mun'im Ibrahim, para jin ini adalah penghuni dunia yang hidup di tempat-tempat sepi dari manusia dan di padang pasir. Dan di antara para jin itu, ada yang hidup di pulau-pulau di tengah laut, di tempat sampah, di tempat rusak, dan di antara mereka ada yang hidup bersama manusia. Allohu A'lam. Baca juga Soal Jawab di www.ghazi.abatasa.com